Seiring meningkatnya tren belanja daring, berjualan di toko online atau marketplace menjadi peluang bisnis yang menjanjikan. Namun di balik kemudahan menjajakan produk secara digital, ada tanggung jawab perpajakan yang sering kali diabaikan pelaku usaha. Banyak penjual online yang baru menyadari kewajiban pajaknya setelah menerima tagihan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP), seperti kisah viral penjual yang dikenakan pajak hingga Rp35 juta karena belum punya NPWP dan tak pernah lapor pajak.
Supaya tidak mengalami hal serupa, penting bagi pelaku usaha online untuk memahami jenis-jenis pajak yang dikenakan terhadap kegiatan jual-beli digital. Artikel ini akan mengulas dengan bahasa sederhana namun tetap komprehensif tentang jenis pajak yang berlaku untuk penjual di online shop, sekaligus memberikan panduan bagaimana mengelolanya secara tepat.
1. Pajak Penghasilan atas Penjualan
Sebagai pelaku usaha, penjual online memiliki kewajiban membayar Pajak Penghasilan (PPh) dari omzet atau penghasilan yang diperoleh dari hasil jualan. Berdasarkan ketentuan PP No. 23 Tahun 2018 jo. PP No. 55 Tahun 2022, penjual dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar per tahun dikenakan PPh Final sebesar 0,5% dari omzet bruto. Di atas itu, tarifnya mengikuti ketentuan umum, misalnya PPh Badan sebesar 22%.
Berbeda dengan pegawai yang dipotong PPh Pasal 21 oleh perusahaan, pelaku usaha mandiri harus melakukan perhitungan, penyetoran, dan pelaporan pajaknya sendiri. Sistem ini dikenal dengan self-assessment, artinya Anda bertanggung jawab atas kewajiban perpajakan tanpa harus menunggu ditegur fiskus.
Catatan penting: Jika belum memiliki NPWP, segeralah mendaftar. Kepemilikan NPWP adalah syarat dasar untuk memulai kepatuhan pajak.

2. Pemotongan PPh oleh Marketplace (Peraturan Baru 2025)
Mulai tahun 2025, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 37 Tahun 2025, marketplace atau platform digital resmi ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 sebesar 0,5% atas penjualan yang dilakukan oleh penjual di platform mereka.
Namun ada pengecualian. Penjual dengan omzet di bawah Rp500 juta per tahun dapat terbebas dari pemotongan ini jika menyerahkan surat pernyataan omzet kepada pihak marketplace. Ini tentu menjadi kabar baik bagi usaha mikro dan pemula.
Marketplace akan secara otomatis memotong PPh dari transaksi yang terjadi dan menyetorkannya ke kas negara. Bagi penjual, ini menjadi langkah praktis dalam membantu pelaporan pajak, namun tetap penting untuk mencatat setiap potongan agar sesuai dalam pelaporan SPT Tahunan.
3. Pajak Terkait Barang Impor dan Transaksi Digital
Selain PPh, pelaku usaha yang menjual produk impor harus memahami kewajiban pajak lain yang berlaku saat barang masuk ke Indonesia. Berdasarkan PMK No. 199/PMK.010/2019, pembeli akan dikenai:
- Bea Masuk (contoh: 25%)
- PPh Impor (contoh: 7,5%)
- PPN sebesar 10%
Namun, pajak-pajak tersebut bukan kewajiban penjual, melainkan tanggung jawab pembeli dan akan ditangani oleh perusahaan jasa kirim yang mengurusi bea cukai. Dalam transaksi online lintas negara, jumlah total yang dibayarkan oleh pembeli sudah mencakup seluruh pungutan ini.
Ilustrasi sederhana:
Jika Anda menjual sepatu dari luar negeri seharga Rp500.000, pembeli dapat membayar total Rp756.875 setelah ditambahkan ongkos kirim, PPN, Bea Masuk, dan PPh Impor. Pajak-pajak tersebut kemudian disetorkan oleh jasa pengiriman, bukan Anda sebagai penjual.
4. Kewajiban PPN Jika Sudah Jadi PKP
Jika omzet Anda lebih dari Rp4,8 miliar setahun, maka Anda wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP). Dengan status ini, Anda harus memungut PPN sebesar 11% dari transaksi barang atau jasa kena pajak yang Anda jual.
Sebagai PKP, Anda juga wajib:
- Membuat dan menerbitkan Faktur Pajak
- Menyetorkan PPN ke negara
- Melaporkan SPT Masa PPN melalui e-Faktur
Namun, menjadi PKP juga memberi keuntungan: Anda bisa mengkreditkan Pajak Masukan atas pembelian barang/jasa terkait bisnis. Bahkan jika Pajak Masukan lebih besar dari Pajak Keluaran, Anda dapat mengajukan restitusi atau pengembalian pajak.
Jangan Sampai Kena Sanksi karena Ketidaktahuan
Salah satu penyebab umum penjual online dikenai sanksi atau tagihan besar adalah kurangnya pemahaman tentang pajak. Padahal, seluruh informasi dasar sudah diatur dalam peraturan pemerintah dan dapat diakses secara terbuka. Sayangnya, banyak pelaku usaha yang baru sadar ketika sudah ditegur atau bahkan ditindak.
Untuk menghindari hal ini:
- Miliki NPWP sejak awal berjualan
- Catat semua omzet dan transaksi secara rapi
- Pantau apakah marketplace memotong PPh
- Ajukan PKP bila omzet sudah melebihi batas
- Konsultasikan pajak bisnis Anda secara berkala
Kesimpulan
Berjualan di marketplace tidak hanya soal memajang produk dan melayani pembeli. Ada tanggung jawab pajak yang melekat, baik itu PPh Final, PPN, maupun potongan pajak oleh marketplace. Memahami jenis pajak dan regulasi yang berlaku adalah langkah penting untuk menjalankan bisnis online dengan tenang, legal, dan profesional.
Jangan menunggu sampai ditagih baru mengurus pajak Anda. Lebih baik proaktif dan terhindar dari risiko denda serta sanksi yang bisa memberatkan usaha.
Butuh bantuan urus pajak toko online Anda? Konsultasikan langsung via WhatsApp di 0818521172 untuk mendapatkan panduan, bantuan laporan pajak, serta solusi perpajakan digital lainnya secara profesional dan terpercaya.









