Perdagangan elektronik atau e-commerce telah menjadi tulang punggung ekonomi digital Indonesia. Seiring perkembangan teknologi dan lonjakan pengguna internet, transaksi online mengalami pertumbuhan signifikan—melampaui Rp144 triliun pada 2018. Namun, di balik lonjakan tersebut, tantangan besar muncul di sektor perpajakan. Bagaimana otoritas pajak menyesuaikan proses bisnis dan kebijakan perpajakan untuk sektor yang bergerak cepat ini?
Memahami E-Commerce dan Relevansi Pajak
E-commerce bukan sekadar jual beli barang secara online. Ia mencakup layanan pelanggan digital, pertukaran dokumen bisnis, hingga sistem pembayaran virtual. Transaksi e-commerce pada dasarnya memiliki karakteristik yang sama dengan perdagangan konvensional, namun berbeda dari segi alat, metode, dan ruang transaksi.
Dalam perspektif perpajakan, e-commerce tetap wajib dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), sama seperti transaksi fisik. Namun, cara pemerintah dalam melakukan pengawasan, penarikan, dan pengenaan pajaknya perlu disesuaikan dengan dinamika digital.
Baca juga artikel empat langkah penting wajib pajak menggunakan coretax
Empat Model Bisnis E-Commerce dan Perlakuan Pajaknya
Dalam lanskap digital Indonesia, terdapat empat model bisnis utama e-commerce yang masing-masing memiliki implikasi perpajakan yang berbeda:
- Online Marketplace
Platform seperti Tokopedia atau Shopee yang mempertemukan penjual dan pembeli dalam satu tempat virtual. Marketplace dikenai PPN atas penyediaan layanan dan PPh atas penghasilan dari jasa perantara. Penjual atau merchant juga dikenai pajak atas penjualan barang dan jasa. - Classified Ads
Situs iklan baris digital, seperti OLX, memungkinkan pengguna mengiklankan produk dengan biaya tertentu. Penghasilan dari layanan iklan termasuk objek PPh dan PPN, baik bagi penyedia platform maupun pihak pengiklan. - Daily Deals
Platform seperti Groupon yang menawarkan kupon diskon kepada pelanggan. Pajak dikenakan atas layanan kupon, penjualan produk, serta jasa pembayaran yang digunakan oleh merchant dan platform. - Online Retail
Situs milik perusahaan atau individu yang menjual barang dan jasa langsung kepada konsumen, seperti Zalora. Dalam model ini, penyedia layanan dan penjual merupakan entitas yang sama, sehingga seluruh transaksi penjualan langsung menjadi objek PPh dan PPN.
Meskipun mekanisme pemajakannya merujuk pada ketentuan yang berlaku umum, seperti Pasal 17 (PPh) dan ketentuan PPN yang lazim, belum ada regulasi khusus yang menangani ekonomi digital secara menyeluruh.
Kendala Direktorat Jenderal Pajak dalam Ekonomi Digital
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menghadapi berbagai kendala dalam memajaki transaksi digital, di antaranya:
- Anonimitas Pelaku: Banyak pelaku usaha e-commerce yang tidak memiliki identitas jelas, menggunakan domain global, serta tidak berkantor fisik di Indonesia.
- Minimnya Jejak Transaksi: Sulitnya memperoleh data transaksi yang lengkap dan valid menjadi penghalang dalam pengawasan pajak.
- Kemudahan Modifikasi Data: Pelaku usaha bisa dengan cepat menghapus atau memanipulasi data transaksi, menyulitkan proses audit.
- Variasi Sistem Pembayaran: Banyaknya metode pembayaran, termasuk cash on delivery dan berbagai payment gateway, menyulitkan pelacakan nilai transaksi yang sesungguhnya.
Kondisi ini menunjukkan bahwa sistem konvensional dalam pengumpulan pajak tidak lagi cukup efektif menghadapi realitas digital saat ini.
Baca juga artikel empat dampak penerapan pajak padel terhadap akses olahraga di indonesia
Strategi Penyesuaian DJP terhadap Tantangan Digital
Untuk menjawab tantangan tersebut, DJP telah merancang sejumlah upaya dan strategi:
- Memperketat Perizinan Usaha Digital
Melalui pembatasan dan pengawasan atas pembukaan situs serta kegiatan jual beli online, DJP dapat memantau pelaku e-commerce sejak awal aktivitas. - Pemantauan Data dan Pengiriman
Data transaksi dan pengiriman kini dipantau melalui sistem pelaporan elektronik. Upaya ini ditujukan untuk meningkatkan akurasi data dan potensi penerimaan. - Kewajiban Penyimpanan Data Transaksi
Pelaku e-commerce diharuskan menyimpan data transaksi untuk jangka waktu tertentu agar proses pemeriksaan atau audit dapat dilakukan sewaktu-waktu. - Payment Gateway Nasional
Gagasan mengenai payment gateway tunggal bertujuan mengintegrasikan data transaksi lintas platform agar otoritas pajak memiliki visibilitas yang lebih besar terhadap aliran uang digital.
Mengapa Pajak Digital Harus Diatur dengan Adil?
Dalam prinsip perpajakan, terdapat asas yang wajib dijaga, seperti Equality, Certainty, Convenience of Payment, dan Economic of Collection. Artinya, pemungutan pajak di dunia digital harus seimbang, pasti, mudah dilakukan oleh Wajib Pajak, serta efisien dari segi biaya.
Sayangnya, ketimpangan saat ini masih terlihat antara pelaku usaha digital dan konvensional. Bisnis digital sering kali lebih sulit dijangkau oleh pengawasan pajak, sementara pelaku usaha offline wajib melapor dan menyetor pajak secara berkala. Hal ini berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan merugikan sektor formal yang patuh pajak.
Menuju Kebijakan Pajak Digital yang Lebih Inklusif
Pemerintah dituntut untuk segera merancang regulasi khusus terkait pajak ekonomi digital yang mencakup seluruh model transaksi dan pelaku usaha online. Regulasi tersebut sebaiknya bersifat adaptif, tidak membatasi inovasi, namun tetap menjamin tercapainya keadilan fiskal.Dengan pendekatan berbasis data, teknologi, dan kolaborasi lintas sektor, Indonesia bisa meraih potensi ekonomi digital yang besar, sekaligus menjaga keberlanjutan fiskal nasional.
Ingin bisnis e-commerce Anda patuh pajak dan bebas risiko hukum?
Kami siap membantu Anda memahami proses bisnis digital dan aspek pajaknya dengan tepat dan efisien. 👉 Konsultasi langsung via WhatsApp: 0818521172