Belakangan ini, olahraga padel tengah naik daun di Indonesia, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bali. Sayangnya, popularitas yang melesat ini justru dibayangi oleh kebijakan yang berpotensi menghambat akses masyarakat luas terhadap olahraga tersebut—yakni penetapan padel sebagai objek pajak hiburan oleh Pemerintah Provinsi Jakarta.
Keputusan ini tertuang dalam Keputusan Kepala Badan Pendapatan Daerah Provinsi Jakarta Nomor 257 Tahun 2025. Dalam regulasi tersebut, padel digolongkan sebagai bagian dari “Olahraga Permainan” yang masuk ke dalam Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), bersama dengan tempat kebugaran, boling, hingga jet ski. Artinya, penyewaan lapangan padel kini dikenakan pajak hiburan sebesar 10 persen.
Lalu, apa dampaknya bagi perkembangan padel di Indonesia, khususnya dari sisi akses, pertumbuhan komunitas, dan peluang prestasi? Mari kita bahas empat dampak penting dari kebijakan ini.
1. Peningkatan Biaya dan Penguatan Citra Eksklusif
Tak dapat dimungkiri, padel memang sedang menjadi tren di kalangan figur publik dan kalangan urban. Harga sewa lapangan yang berkisar antara Rp200.000 hingga Rp550.000 per jam, belum termasuk biaya sewa raket dan perlengkapan lain, sudah cukup membatasi akses dari kalangan menengah ke bawah.
Dengan diterapkannya pajak hiburan sebesar 10 persen, biaya ini akan meningkat dan berisiko memperkuat citra padel sebagai olahraga eksklusif. Hal ini dapat menghambat niat masyarakat awam, khususnya pelajar dan mahasiswa, untuk mencoba atau menekuni olahraga ini secara serius.
2. Hambatan bagi Pertumbuhan Komunitas dan Talenta Muda
Saat ini, Indonesia memiliki komunitas padel yang mulai berkembang melalui Perkumpulan Besar Padel Indonesia (PBPI). Bahkan, PBPI mendorong padel menjadi salah satu cabang olahraga resmi di SEA Games 2025. Namun, dengan meningkatnya biaya akibat pajak, pertumbuhan komunitas grassroots bisa melambat.
Padahal, olahraga ini bukan sekadar tren gaya hidup. Di dunia internasional, padel telah dipertandingkan di European Games 2023 dan bahkan dijadikan cabang ekshibisi di Olimpiade Los Angeles 2028. Indonesia punya peluang untuk melahirkan atlet-atlet muda yang bisa bersaing di panggung dunia—asal akses terhadap olahraga ini terbuka lebar.
3. Potensi Penerimaan Daerah, Tapi Harus Seimbang
Dari sisi fiskal, penetapan padel sebagai objek pajak tentu berdampak positif bagi penerimaan daerah. Dengan maraknya pembangunan lapangan padel—jumlahnya mencapai 133 di seluruh Indonesia, dengan dominasi di Bali dan Jakarta—pemerintah daerah melihat ini sebagai peluang pendapatan yang sah.
Namun, seperti yang disampaikan Gubernur Jakarta, penerapan pajak ini bisa menjadi kebijakan bermata dua. Pemerintah perlu berhati-hati agar tidak mengorbankan aspek inklusivitas dan pembinaan olahraga hanya demi penerimaan jangka pendek.

Ingin piutang penjualan anda aman dan minimal bad debt? Dapatkan video books Panduan Lengkap mengelola piutang penjualan perusahaan kontak groedu@gmail.com atau 0818521172
4. Perlunya Solusi Kebijakan yang Lebih Inklusif
Jika padel ingin berkembang sebagai olahraga kompetitif dan bukan sekadar gaya hidup kalangan atas, maka pendekatan kebijakan perlu diarahkan pada inklusivitas. Pemerintah daerah bisa menimbang beberapa alternatif, seperti:
- Pemberian insentif atau keringanan pajak bagi klub atau lapangan yang membuka program pelatihan untuk pelajar dan komunitas lokal.
- Pengembangan lapangan publik di kawasan yang lebih terjangkau dan tidak terbatas pada area elit.
- Kemitraan dengan sekolah dan universitas untuk menyediakan fasilitas padel bagi siswa.
Langkah-langkah ini penting agar padel tidak menjadi simbol ketimpangan sosial, tetapi justru menjadi jembatan prestasi bagi generasi muda Indonesia.
Antara Tren Sosial dan Olahraga Potensial
Asal mula padel memang unik. Diciptakan oleh seorang pengusaha Meksiko bernama Enrique Corcuera pada tahun 1969, olahraga ini menggabungkan unsur tenis dan squash dalam permainan cepat dan intens. Kini, padel sudah menjangkau lebih dari 130 negara, dengan klub dan lapangan yang terus tumbuh, bahkan diprediksi mencapai 81.000 lapangan secara global pada 2027.
Namun, di Indonesia, padel baru benar-benar dikenal publik sejak tahun 2022. Diawali dari Bali, lalu menjalar ke Jakarta, padel tumbuh dari lingkungan ekspatriat ke kalangan selebritas dan pebisnis. Fenomena “demam padel” pun muncul, didorong oleh media sosial dan gaya hidup urban. Tapi agar olahraga ini tak sekadar jadi tren sesaat, fondasi pembinaan dan akses yang luas harus dipersiapkan sejak dini.
Kesimpulan
Meningkatnya minat terhadap padel di Indonesia adalah momentum emas. Namun, pemerintah perlu berhati-hati dalam mengatur pertumbuhan ini agar tidak menciptakan eksklusivitas yang justru menjauhkan padel dari masyarakat luas. Pajak bisa menjadi alat pembangunan, tapi juga bisa menjadi penghambat jika tidak diimbangi dengan kebijakan inklusif.
Jika Anda adalah pemilik bisnis olahraga, pengelola lapangan, atau ingin mengembangkan komunitas olahraga padel yang terbuka untuk semua kalangan, kami siap membantu Anda merancang strategi manajemen dan kepatuhan perpajakan yang tepat, tanpa mengorbankan misi inklusifitas.
Hubungi kami sekarang melalui WhatsApp di 0818521172 untuk konsultasi dan layanan profesional terkait pengelolaan bisnis olahraga dan pajaknya.








