Transformasi digital dalam sektor perpajakan Indonesia mengalami babak baru sejak diluncurkannya sistem inti administrasi perpajakan atau yang dikenal dengan Coretax. Sistem ini digadang-gadang sebagai inovasi besar yang akan mengubah wajah layanan pajak di Indonesia menjadi lebih transparan, efisien, dan akuntabel. Namun, seperti halnya setiap inovasi baru, perjalanan Coretax di tahap awal implementasinya tak luput dari tantangan teknis dan operasional yang berdampak pada performa penerimaan pajak nasional.
Coretax: Inovasi Besar atau Risiko Operasional?
Wakil Menteri Keuangan, Anggito Abimanyu, menyatakan bahwa Coretax bukanlah penyebab utama penurunan penerimaan pajak di awal 2025. Ia menekankan bahwa sistem ini merupakan game changer yang akan menyetarakan posisi wajib pajak dan otoritas pajak dalam proses administrasi, khususnya dalam hal keberatan dan banding. Coretax diklaim akan membuat seluruh proses lebih kredibel dan terstruktur.
Namun, implementasi Coretax sejak awal Januari 2025 memang diwarnai dengan sejumlah hambatan teknis. Salah satu kendala utama adalah kesulitan dalam mengunggah dan memproses faktur pajak. Masalah latensi menjadi sorotan, karena sempat mencapai 10 detik untuk menerbitkan satu faktur pajak. Hal ini menghambat proses bisnis pelaporan dan pembayaran pajak yang kini seluruhnya bergantung pada sistem tersebut.

Perbaikan yang Dilakukan Pemerintah
Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak tidak tinggal diam. Sejumlah perbaikan signifikan telah dilakukan. Hingga pertengahan Maret 2025, waktu tunggu penerbitan faktur pajak berhasil ditekan menjadi 1,46 detik. Latensi login ke sistem pun berkurang drastis dari 4,1 detik menjadi hanya 0,012 detik.
Menurut data DJP, dari Januari hingga 16 Maret 2025, tercatat lebih dari 136 juta faktur pajak berhasil diproses melalui Coretax. Angka ini menunjukkan bahwa sistem perlahan mulai stabil dan dapat mengakomodasi beban kerja tinggi, terutama pada masa pelaporan pajak.
Penurunan Penerimaan Pajak dan Faktor Penyebabnya
Realisasi penerimaan pajak hingga Februari 2025 tercatat sebesar Rp187,8 triliun, turun 30,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Banyak pihak menilai gangguan teknis Coretax menjadi salah satu faktor dominan dari penurunan ini.
Prianto Budi Saptono dari Ikatan Konsultan Pajak Indonesia menyebut bahwa karena seluruh proses bisnis perpajakan kini terpusat di Coretax, maka gangguan teknis di sistem ini secara langsung menghentikan kegiatan pembayaran dan pelaporan pajak. Hal ini terutama berdampak pada jenis pajak strategis seperti PPh, PPN, dan PBB sektor pertambangan.
Namun, menurut Fajry Akbar dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Coretax bukan satu-satunya penyebab. Ia menambahkan bahwa penurunan penerimaan juga disebabkan oleh penerapan tarif efektif rata-rata (TER) dan peningkatan permohonan restitusi PPN. Meski demikian, ia meyakini bahwa ketiga faktor ini bersifat sementara, dan penerimaan pajak akan kembali pulih dalam beberapa bulan ke depan.
Tantangan Implementasi Teknologi dalam Sistem Pajak
Implementasi sistem digital skala besar seperti Coretax memang tidak bisa lepas dari risiko-risiko operasional. Salah satu tantangan terbesarnya adalah bagaimana pemerintah mampu mengelola perubahan teknologi secara simultan dengan edukasi kepada wajib pajak dan para pelaku usaha.
Saat gangguan terjadi, sebagian pelaku usaha kesulitan mendapatkan akses atau konfirmasi transaksi secara real-time. Hal ini tentu berdampak pada proses pelaporan pajak dan cash flow perusahaan, terutama mereka yang bergantung pada restitusi atau insentif pajak.
Maka dari itu, dibutuhkan kolaborasi yang intens antara pemerintah, asosiasi usaha, dan para konsultan pajak agar proses penyesuaian terhadap sistem baru ini bisa berjalan lebih cepat dan efisien.

Harapan dan Langkah ke Depan
Dengan sistem Coretax yang kini diklaim sudah semakin stabil, ada harapan bahwa target penerimaan pajak sebesar Rp2.189,3 triliun pada tahun 2025 tetap bisa tercapai. Kuncinya adalah keberlanjutan dari proses perbaikan, monitoring sistem secara berkala, dan respons cepat terhadap masukan dari pengguna.
Selain itu, memperkuat komunikasi publik juga menjadi hal penting agar para wajib pajak memahami manfaat jangka panjang dari digitalisasi perpajakan. Sosialisasi yang tepat akan mengurangi resistensi dan meningkatkan partisipasi aktif dalam sistem yang baru ini.
Kesimpulan
Coretax memang bukan tanpa kekurangan, namun sebagai inovasi digital yang dirancang untuk menyederhanakan sistem perpajakan nasional, sistem ini punya potensi besar. Dengan evaluasi berkelanjutan, peningkatan teknis, dan komunikasi yang efektif, Coretax bisa menjadi fondasi kuat bagi transformasi sistem perpajakan Indonesia.
Apabila Anda memerlukan pendampingan atau konsultasi terkait adaptasi bisnis terhadap sistem Coretax dan pengelolaan kewajiban perpajakan, jangan ragu untuk menghubungi kami melalui WhatsApp 0818521172. Kami siap membantu Anda menavigasi perubahan sistem ini dengan strategi yang tepat.