Pajak properti merupakan salah satu bentuk kontribusi wajib yang dikenakan kepada pemilik properti atas kepemilikan atau transaksi properti di Indonesia. Properti sendiri mencakup berbagai bentuk, mulai dari tanah, rumah, apartemen, hingga bangunan komersial seperti ruko dan kantor. Pajak ini diberlakukan untuk menjaga stabilitas penerimaan negara, terutama di tingkat pemerintah daerah, sekaligus mencegah spekulasi yang berlebihan di pasar properti.
Dalam artikel ini, kita akan membahas secara mendetail tentang jenis-jenis pajak properti yang berlaku di Indonesia, serta bagaimana perhitungan dan ketentuan setiap pajaknya.
1. Pajak Penghasilan (PPh) atas Penjualan Properti
Pajak Penghasilan (PPh) adalah jenis pajak yang dikenakan kepada penjual properti atas keuntungan yang diperoleh dari penjualan tersebut. Pajak ini dikenakan berdasarkan tambahan kemampuan ekonomis yang diterima oleh penjual dalam bentuk pendapatan dari transaksi jual beli properti. Besaran tarif PPh untuk transaksi properti di Indonesia umumnya sebesar 2,5% dari harga jual, namun bisa berbeda tergantung pada kebijakan terbaru.
PPh ini berlaku baik untuk penjualan properti baru maupun bekas, baik yang dilakukan oleh perorangan maupun badan usaha. Misalnya, perusahaan properti yang menjual unit apartemen juga dikenakan pajak ini.
Baca juga : cara menghitung pajak bagi yang bergaji 5 juta per bulan
2. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan pajak yang dikenakan atas tanah dan bangunan yang memberikan keuntungan sosial-ekonomi bagi pemiliknya. PBB dipungut oleh pemerintah daerah setempat berdasarkan nilai jual objek pajak (NJOP) yang ditetapkan setiap tahun.
Pajak ini berlaku untuk semua jenis properti, baik tanah kosong, rumah tinggal, maupun bangunan komersial. Nilai PBB yang harus dibayar setiap tahun biasanya berdasarkan persentase tertentu dari NJOP, dan tiap daerah memiliki kebijakan yang berbeda-beda terkait nilai ini. Pemerintah daerah sering kali memberikan program pemutihan atau penghapusan denda untuk mendorong masyarakat agar lebih taat membayar pajak.
3. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak yang dikenakan kepada pembeli properti dalam transaksi penjualan properti baru. PPN biasanya diterapkan pada pengusaha kena pajak (PKP), seperti pengembang properti atau badan usaha yang menjual properti komersial.
PPN dikenakan hanya pada transaksi penjualan properti baru atau primary market, dengan tarif standar 10% dari harga jual. Properti bekas atau transaksi di pasar secondary biasanya tidak dikenakan PPN. Namun, ketentuan ini dapat berubah sesuai dengan kebijakan pemerintah.
4. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pungutan yang dikenakan kepada pembeli properti saat mereka memperoleh hak atas tanah dan bangunan. Pajak ini dikenakan setiap kali terjadi transaksi seperti jual beli, hibah, atau warisan yang melibatkan properti.
BPHTB dihitung berdasarkan nilai perolehan tanah atau bangunan, dengan tarif standar sebesar 5% dari nilai perolehan setelah dikurangi batas tidak kena pajak (NPOPTKP) yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. BPHTB harus dibayarkan sebelum pembeli dapat memproses sertifikat kepemilikan atas properti tersebut.
5. Biaya Notaris dan Pajak Lainnya
Selain pajak-pajak utama di atas, ada beberapa biaya tambahan yang perlu diperhatikan dalam transaksi properti, seperti biaya notaris. Notaris berperan penting dalam pembuatan akta jual beli (AJB), yang merupakan dokumen resmi yang menyatakan peralihan hak kepemilikan dari penjual ke pembeli.
Besarnya biaya notaris bervariasi, namun umumnya sekitar 1% dari nilai transaksi properti. Selain itu, ada juga biaya pengecekan sertifikat dan biaya balik nama yang harus dibayarkan oleh pembeli saat mengurus peralihan hak kepemilikan di Badan Pertanahan Nasional (BPN).
6. Pajak Lainnya: Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Bea Balik Nama (BBN)
Selain pajak-pajak di atas, pembeli properti juga harus membayar biaya lain yang dikenal sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Biaya ini dikenakan saat pembeli mengajukan permohonan balik nama sertifikat kepemilikan di kantor pertanahan setempat.
Besaran biaya balik nama (BBN) umumnya sekitar 1% dari nilai transaksi properti. Biaya ini wajib dibayarkan oleh pembeli untuk memastikan bahwa properti yang dibeli telah sah secara hukum atas nama pemilik baru.
Baca juga : apa yang dimaksud dengan self assessment dalam perpajakan di indonesia?
Kesimpulan
Properti adalah salah satu sektor yang paling banyak dikenai pajak di Indonesia, karena nilainya yang terus meningkat dan stabil. Jenis-jenis pajak properti, seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), bertujuan untuk memastikan bahwa kontribusi terhadap negara dan daerah dilakukan secara adil dan proporsional.
Dengan memahami jenis-jenis pajak yang terkait dengan properti, baik penjual maupun pembeli dapat mempersiapkan diri dengan lebih baik dalam proses transaksi properti, sehingga tidak ada kewajiban pajak yang terabaikan. Pemahaman ini juga membantu menjaga agar transaksi properti berjalan lancar dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Semoga artikel di atas bermanfaat bagi pembaca. Apabila pembaca membutuhkan informasi lebih lanjut terkait perpajakan dan membutuhkan pendampingan terkait perpajakan, silahkan hubungi kami di groedu@gmail.com atau kontak di SINI.