Keputusan pengesahan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja telah menarik perhatian banyak pihak. Rancangan Undang-Undang ini telah disetujui oleh anggota DPR setelah melalui proses pembahasan yang panjang, meskipun mendapat protes dalam dialog antara pemerintah dan parlemen. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020, meskipun disertai dengan protes yang kuat. Namun, keputusan DPR ini tidak berlaku lama karena Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa Rancangan Undang-Undang ini tidak sesuai dengan konstitusi.
Sebagai respons terhadap putusan MK, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada 30 Desember 2022. Setelah beberapa bulan, pada 21 Maret 2023, DPR secara resmi menyetujui Perppu Cipta Kerja yang kemudian menjadi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja.
UU Omnibus Law Cipta Kerja ini menggabungkan berbagai peraturan perundang-undangan menjadi satu dokumen hukum yang lebih sederhana. Tujuan dari konsep omnibus law ini adalah untuk mengatasi tumpang tindih regulasi dan mengurangi masalah birokrasi, sehingga pelaksanaan kebijakan dapat berjalan lebih lancar. Sebagai contoh, pasal-pasal terkait ketenagakerjaan dari undang-undang sebelumnya juga dimasukkan ke dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja ini. Dengan adanya UU Omnibus Law Cipta Kerja, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak berlaku lagi.
Poin-Poin Penting dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja Terbaru
Dalam UU Cipta Kerja terbaru, terdapat beberapa perbedaan signifikan terkait kebijakan ketenagakerjaan jika dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya (UU 13/2003). Berikut adalah rincian perubahan yang ada dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja:
Jam Kerja/Hari Libur
Poin terkait aturan jam kerja atau hari libur dalam UU baru ini adalah:
1. Jam Kerja:
• Waktu kerja lembur kini diperpanjang menjadi 4 jam per hari dan 18 jam per minggu. Sebelumnya, batas waktu lembur hanya 3 jam per hari dan 14 jam per minggu.
2. Hari Libur Mingguan:
• Dalam seminggu kerja 6 hari, pekerja memiliki 1 hari libur. Ini merupakan perubahan dari UU 13/2003 yang memberikan pilihan antara 1 hari libur untuk 6 hari kerja atau 2 hari libur untuk 5 hari kerja.
3. Istirahat Panjang:
• Tidak ada persyaratan wajib bagi perusahaan untuk memberikan istirahat panjang. Dengan demikian, hak cuti panjang selama 2 bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 tahun secara terus-menerus, yang sebelumnya diatur dalam UU sebelumnya, kini menjadi keputusan perusahaan.
4. Cuti Haid:
• Tidak ada ketentuan cuti haid bagi perempuan pada hari pertama dan kedua. Belum jelas apakah pasal yang mengatur cuti haid telah diubah atau dihapuskan. Menurut Pasal 81 UU 13/2003, pekerja/buruh wanita wajib mendapat cuti selama masa haid dan tetap dibayar upah.
5. Cuti Hamil-Melahirkan:
• Tidak ada ketentuan mengenai cuti hamil dan melahirkan. Pasal yang mengatur mekanisme cuti hamil-melahirkan bagi pekerja perempuan, termasuk cuti untuk istirahat bagi pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran, yang sebelumnya diatur dalam Pasal 82 UU sebelumnya, kini tidak terdapat dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja.
6. Hak Menyusui:
• Tidak ada ketentuan mengenai hak menyusui. Pasal yang memberikan hak kepada pekerja/buruh perempuan untuk menyusui anaknya selama jam kerja (Pasal 83 UU 23/2003) tidak disebutkan dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Status Pekerja/Karyawan
Pasal yang mengatur Pekerja Waktu Tertentu (PKWT) dalam UU Ketenagakerjaan telah dihapus. Saat ini, tidak ada regulasi yang menetapkan persyaratan untuk PKWT atau pekerja kontrak.
Artinya, tidak ada batasan mengenai kontrak pekerja; mereka dapat dipekerjakan dalam status kontrak tanpa batasan waktu.
Sebelumnya, Pasal 59 dalam UU 13/2003 mengatur bahwa kontrak PKWT dapat berlangsung maksimal 2 tahun, dengan opsi perpanjangan selama 1 tahun.
Dengan perubahan ini, masa kontrak pekerja tidak memiliki batas waktu, dan keputusan untuk memperpanjang kontrak atau mengangkat pekerja menjadi karyawan tetap berada di tangan perusahaan.
Meskipun demikian, Kementerian Ketenagakerjaan menyatakan melalui media sosialnya bahwa status PKWT dan PKWTT tetap berlaku.
Upah
Sementara itu aturan mengenai pengupahan diubah menjadi 7 kebijakan, di antaranya:
- Upah minimum
- Struktur dan skala upah
- Upah kerja lembur
- Upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu
- Bentuk dan cara pembayaran upah
- Hal-hal lain yang dapat diperhitungkan dengan upah
- Upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya
Sebelumnya dalam Pasal 88 ayat (3) UU Ketenagakerjaan disebutkan ada 11 kebijakan pengupahan.
4 ketentuan terkait pengupahan pada UU 13/2003 yang dihapus dalam UU Cipta Kerja ini adalah:
- Upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya
- Upah untuk pembayaran pesangon
- Upah untuk perhitungan pajak penghasilan
- Denda dan potongan upah
Penghapusan Upah Minimum bagi UMKM
Dalam rangka Undang-Undang Cipta Kerja, pemerintah kini menghapus kewajiban memberikan upah minimum bagi pelaku usaha mikro dan kecil.
Pembebasan ini dijelaskan dalam Pasal 90B Undang-Undang Cipta Kerja, yang menyatakan:
Ketentuan Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88C ayat (1) dan ayat (21 dikecualikan lagi usaha mikro dan kecil.
Dengan demikian, menurut pasal ini, besaran upah bagi karyawan UMKM ditentukan melalui kesepakatan antara pengusaha dan karyawan.
Pesangon
Pemisahan Uang Pesangon Menurut UU Omnibus Law Cipta Kerja dan UU Ketenagakerjaan:
1. Uang Penggantian Hak:
UU Cipta Kerja tidak mengatur uang penggantian hak, yang sebelumnya diatur dalam Pasal 154 ayat (4) UU Ketenagakerjaan.
2. Uang Penghargaan Masa Kerja:
UU Omnibus Law Cipta Kerja tidak menyediakan uang penghargaan bagi pekerja dengan masa kerja 24 tahun, seperti yang diatur dalam Pasal 156 ayat (3) UU 13/2003.
3. Uang Pesangon Menurut UU Cipta Kerja:
- Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena surat peringatan
- Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena peleburan, pergantian status kepemilikan perusahaan
- Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena perusahaan merugi 2 tahun dan pailit.
- Tidak ada uang santunan berupa pesangon bagi ahli waris atau keluarga jika pekerja/buruh meninggal
- Tidak ada uang pesangon bagi pekerja/buruh yang di PHK karena akan memasuki usia pensiun.
4. Uang Pesangon Menurut UU Ketenagakerjaan 13/2003:
- Pesangon harus diberikan pada pekerja/buruh yang di PHK karena melakukan pelanggaran setelah diberi surat peringatan yang diatur dalam perjanjian kerja, perjanjian perusahaan atau perjanjian kerja sama (diatur dalam Pasal 161).
- Pesangon harus diberikan pada pekerja/buruh yang di PHK karena perubahan status atau penggabungan perusahaan maupun perubahan kepemilikan perusahaan, sebesar 1 kali gaji, uang penghargaan masa kerja 1 kali, uang penggantian hak (diatur dalam Pasal 156).
- Pesangon diberikan pada pekerja/buruh yang di PHK karena perusahaan merugi dan pailit (sesuai Pasal 164 dan 165)
- Pemberian uang santunan pada ahli waris atau keluarga pekerja jika pekerja/buruh meninggal dunia.
- Uang Pesangon diberikan pada pekerja/buruh yang di PHK karena memasuki usia pensiun. Pesangon diberikan sebanyak 2 kali, uang penghargaan masa kerja 1 kali dan uang penggantian hak (sesuai Pasal 156 dan 167).
Baca juga : 3 cara utama menghitung pajak penghasilan karyawan
Jaminan Sosial
Pengaturan mengenai jaminan sosial dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja dan UU 13/2003 mengalami perubahan signifikan:
- Jaminan Pensiun Dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja, tidak ada sanksi pidana yang dikenakan kepada perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program jaminan pensiun. Sebelumnya, dalam UU Ketenagakerjaan, perusahaan yang tidak mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program jaminan pensiun dapat dikenakan sanksi pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 5 tahun, serta denda mulai dari Rp100.000.000 hingga Rp500.000.000.
- Jaminan Kehilangan Pekerjaan UU Omnibus Law Cipta Kerja juga memperkenalkan program baru, yaitu Jaminan Kehilangan Pekerjaan, yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan dengan prinsip asuransi sosial. Sebelumnya, program jaminan kehilangan pekerjaan ini tidak diatur dalam UU 13/2003.
PHK
Berikut adalah perbedaan ketentuan mengenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang diatur dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja 2020 dibandingkan dengan UU Ketenagakerjaan.
Dalam UU 13/2003, terdapat 9 alasan yang memungkinkan perusahaan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Beberapa di antaranya termasuk:
- Perusahaan mengalami kebangkrutan
- Perusahaan ditutup karena kerugian yang signifikan
- Perubahan status perusahaan
- Pekerja/buruh melanggar perjanjian kerja
- Pekerja/buruh melakukan kesalahan serius
- Pekerja/buruh mencapai usia pensiun
- Pekerja/buruh mengundurkan diri
- Pekerja/buruh meninggal dunia
- Pekerja/buruh tidak hadir tanpa izin
Sementara itu, dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja, ditambahkan 5 poin tambahan, sehingga totalnya menjadi 14 alasan yang memungkinkan perusahaan untuk melakukan PHK:
- Perusahaan melakukan efisiensi operasional
- Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan bisnis
- Perusahaan berada dalam kondisi penundaan pembayaran utang
- Perusahaan melakukan tindakan yang merugikan pekerja/buruh
- Pekerja/buruh mengalami penyakit serius atau cacat akibat kecelakaan kerja yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk bekerja selama lebih dari 12 bulan
Itulah poin-poin penting dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja 2020 yang sebaiknya dipahami, tidak hanya oleh pekerja umum tetapi juga secara khusus oleh mereka yang bekerja di bidang pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) atau Human Resources (HR) di perusahaan.